*RAMADHAN*
Assalamualaikum Wr Wb
Sahabat...
Puasa Ramadhan sebentar lagi akan kita jalani.
Sudah seberapa jauh persiapan kita menyambut bulan suci? Sudahkah memaknai puasa sebagai sebetul-betulnya ibadah, bukan sekadar menahan lapar belaka?
Ibadah puasa ramadhan adalah jalan menuju ilmu *“makan sejati”*
Puasa membantu kita *memberi jarak antara makan dengan nafsu*.
Puasa pula yang akan membuat kita mengerti bahwa ilmu makan sebetulnya hanya perlu dipenuhi oleh sesuatu yang dapat meredakan lapar. Tidak kurang dan tidak lebih hanya itu saja.
Kita pasti pernah dengar ungkapan *“makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang”.*
Ilmu ini datang dari baginda Rasulullah SAW dan diketahui oleh kita semua sebagai umatnya sebagai ilmu makan yang turun-menurun.
Ketika berpuasa kita menahan lapar setelah sahur dan sangat menantikan waktu berbuka puasa tiba. Sepanjang puasa itu, kita membayangkan banyak makanan untuk berbuka di magrib, nanti. Nasi goreng, mi goreng, soto, ayam penyet, bakso, sate, semua terasa menggiurkan untuk disantap. Padahal ternyata, ketika sampai di rumah untuk berbuka, teh manis saja terasa sudah lebih dari cukup, bukan?
Pertanyaannya adalah mengapa di hari lain yang tanpa puasa, sarapan apa pun selain nasi membuat kita seakan belum makan apa-apa? Sebetulnya apa yang kita beri makan selama ini: *perut atau nafsu?*
Jika pertanyaannya seperti itu, sebenarnya jawabannya pun sederhana.
Kita hanya perlu memahami ilmu “makan sejati” yang sederhana ini: “makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang”.
Jika kita cermat memahami makan sebagai pemenuh kebutuhan perut, maka makanan apa pun harusnya terasa cukup. Jika es teh manis cukup, mengapa memaksakan harus ada nasi padang sebagai dalih pelengkap?
Disadari atau tidak, selama ini, _kita lebih sering menuruti nafsu alih-alih memenuhi kebutuhan._
Kita dituntut oleh berbagai hal di luar diri yang mengharuskan kita untuk mencapai “lebih” dan bukan sekadar “cukup”.
Ketika makan siang dengan client, misalnya, kita punya budaya “malu” pasti enggan mengajak makan siang di warung tenda pinggir jalan dan lebih memilih makan di restoran.
“Alangkah sedih menyaksikan betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tidak habis-habisnya makan padahal ia sudah amat kekenyangan.”
Maka marilah di momentum Ramadhan ini, jadikan ibadah puasa sebagai tempat berlatih untuk mencapai ilmu “makan sejati”.
Menjadikan bulan ramadan sebagai tempat untuk *menguji keberhasilan kita untuk selalu merasa “cukup” dan tidak menuntut “lebih”.*
PUASA itu melatih “tidak” karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan “ya”. Sekurang-kurangnya mengendalikan “ya”. Mental manusia lebih berpihak pada “melampiaskan” dibanding “mengendalikan”.
Padahal, keselamatan peradaban, keindahan kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyarakatan lebih mengacu pada *pengendalian* daripada *pelampiasan*.
Bahkan idiom “kemerdekaan” kita selama ini sedemikian tidak terkontrol sehingga identik dengan “pelampiasan”. Maka Ramadhan menjadi sangat penting untuk melatih “tidak” itu.
_Matahari berdzikir, angin bertasbih dan pepohonan memuji keagungan-Mu._
_Semua menyambut datangnya malam Seribu Bulan._
_Selamat datang Ramadhan, Selamat beribadah puasa._
Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
No comments:
Post a Comment