Kita sebagai manusia kadang lupa akan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini, dalam group ini mari kita sama sama saling mengingatkan satu sama lain atas pentingnya Iman, Usaha Atas Iman...tanpa melihat perbedaan diantara kita, kenapa kita tidak sama sama melihat persamaan di dalam ber Iman dan beribadah kepada Alloh SWT. Tidak lain Alloh SWT menciptakan kita sebagai manusia semuanya hanya untuk beribadah kepada Alloh SWT.
Pentingnya Saling Ingat Mengingatkan dan Menyampaikan
PENTINGNYA SALING MENGINGATKAN dan MENYAMPAIKAN...
waltakun minkum ummatun yad'uuna ilaa lkhayri waya/muruuna bilma'ruufi wayanhawna 'ani lmunkari waulaa-ika humu lmuflihuun
[3:104] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.
qul haadzihi sabiilii ad'uu ilaallaahi 'alaa bashiiratin anaa wamani ittaba'anii wasubhaanallaahi wamaa anaa mina lmusyrikiin
[12:108] Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Sunday, June 6, 2010
Fiqih: Sholat di Perjalanan
Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang
diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah
satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar
(dipendekkan) dan dengan cara jamak (menggabung dua sholat dalam satau waktu).
Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus
safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan
menjadi dua roka'at.
3. Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan
Isya', dalam salah satu waktunya.
SEMPURNA ATAU QASHAR?
Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih utama dalam melaksanakan
sholat saat bepergian, apakah dengan sempurnya seperti biasa ataukah dengan
qashar.
[1]. Pendapat pertama mengatakan qashar shalat saat bepergian hukumnya wajib.
Pendapat ini diikuti mazhab Hanafiyah, Shaukani, Ibnu Hazm dan dari ulama
kontemporer Albani. Bahkan Hamad bin Abi Sulaiman mengatakan barangsiapa
melakukan sholat 4 rakaat saat bepergian, maka ia harus mengulanginya. Imam
Malik juga diriwayatkan mengatakan mereka yang tidak melakukan qashar harus
mengulangi sholatnya selama masih dalam waktu sholat tersebut.
Pendapat ini menyandar kepada dalil hadist riwayat Aisyah r.a. berkata:"Pada
saat pertama kali diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian itu ditetapkan
pada shalat bepergian, dan untuk sholat biasa disempurnakan" (Bukhari Muslim).
Dalil ini juga diperkuat oleh riwayat Ibnu Umar r.a. beliau berkata:"Aku
menemani Rasulullah s.a.w. dalam bepergian, beliau tidak pernah sholat lebih
dari dua rakaat sampai beliau dipanggil Allah" (Bukhari Muslim).
Dalil lain dari pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas r.a. juga penah
berkata:"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian
s.a.w. bahwa untuk orang bepergian dua rakaat, untuk orang yang menetap empat
rakaat dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat."(H.R. Muslim).
[2]. Pendapat kedua mengatakan bahwa melakukan sholat dengan cara qashar saat
bepergian hukumnya sunnah. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali
dan mayoritas ulama berbagai mazhab.
Dalil pendapat ini adalah ayat al-Qur'an:
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." (Annisa:101).
Ayat ini dengan jelas
menyatakan "tidak mengapa" yang berarti tidak keharusan.
Dalil tersebut juga diperkuat oleh riwayat dari beberapa orang sahabat yang
melakukan sholat sempurna pada saat bepergian. Sekiranya qashar wajib, tentu
tidak akan ada seorang sahabat yang meninggakannya. Beberapa sahabat yang
diriwayatkan tidak melakukan qashar saat bepergian adalah Usman, Aisyah dan Saad
bin Abi Waqqas r.a..
Dalil lain adalah bahwa tatkala seorang musafir bermakmum dengan orang yang
mukim, maka wajib baginya menyempurnakan sholat mengikuti tata cara shalat imam
yang mukim. Imam Syafii mengatakan telah terjadi konsensus (Ijma') ulama
mengenai hal tersebut. Seandainya sholat musafir wajib qashar dan dua rakaat
maka tentu sholatnya musafir tadi tidak sah karena melebihi dua rakaat. Ini
menunjukan bahwa qashar bukan keharusan, tetapi anjuran atau sunnah.
[3]. Pendapat ketiga mengatakan bahwa makruh hukumnya menyempurnakan sholat saat
bepergian dan sangat disunnahkan untuk melakukan qashar. Alasannya, bahwa qashar
merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. dan merupakan sunnah, meninggakan sunnah
merupakan perkara makruh. Rasulullah s.a.w. juga mengatakan dalam sebuah hadist
yang sangat masyhur:" Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya
sholat".
CARA SHOLAT QASHAR
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang
semestinya empat roka'at yaitu dhuhur, ashar, dan isya', di ringkas menjadi dua
roka'at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar : Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini qoshron lillahi
ta'ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka'at karena Allah.
SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan
qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan
lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim
sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh
tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:"Wahai penduduk Makkah,
janganlah kalian melakkan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu
dari Makkah ke Usfan". (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga
diriwayatkan sebagai statemen Ibu Abbas).
Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi
perjalanan selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang
memperkirakan sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih
sedikit tidak masalah karena al-Qur'an tidak secara jelas memberikan batasan
jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih
mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut,
yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh kurang.
3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka'at. Yakni Dhuhur, Ashar dan
Isya'
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama'ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar
sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di
satu tempat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih
diperbolehkan melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama
dan mazhab empat kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan
melakukan qashar adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat
telah melebihi tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus
menyempurnakan sholat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri
mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama' adalah 15 hari.
Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud mengatakan maksimum 4
hari.
JAMA' SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT)
Menjama' sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu
kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib
dan Isya' dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut.
Maka sholat dengan cara jama' ada dua macam:
1. Jama' taqdim. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu
dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu maghrib.
2. Jama' ta'khir. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu
ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu isya'.
HUKUM JAMA'
Banyak yang beranggapan bahwa jama' merupakan ketentuan yang tidak terkait
dengan qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai
ketentuan sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara
bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama'. Sholat
seperti itu disebut jama' qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama' lebih longgar dibandingkan dengan
qashar. Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan
syarat di atas, tetapi jama' mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di
atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama' sholat.
Mayoritas ulama mengatakan jama' sholat hukumnya boleh dan merupakan hak
musafir. Karena hukumnya boleh maka seorang musafir boleh malakukan jama' dan
boleh tidak melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah
s.a.w. adalah kesunahan.
Dalil-dalil yang menunjukkan dipebolehkannya jama' adalah antara lain:
[1]. Hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik r.a. belaiau berkata bahwa
Rasulullah s.a.w menggabung sholat Maghrib dan Isya' pada saat bepergian.
[2]. Hadist riwayat Muslim dari Muadz beliau berkata: kami bepergian bersama
Rasulullah s.a.w. untuk perang Tabuk, beliau melakukan sholat Dhuhur dan Ashar
secara digabung dan begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya'.
[1] hadist Anas bin Malik r.a.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum
matahari condong ke barar, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar,
lalu beliau berhenti dan sholat keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk
waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan". (h.r. Bukhari
Muslim).
[2] Hadist Ibnu Umar r.a. berkata: suatu hari aku dimintai pertolongan oleh
salah satu keluarganya yang tinggal jauh sehingga beliau melakukan perjalanan,
beliau mengakhirkan maghrib hingga waktu isya' kemudian berhenti dan melakukan
kedua sholat secara jama', kemudian beliau menceritakan bahwa itu yang dilakukan
Rasulullah s.a.w. ketika menghadapi perjalanan panjang.
Kedua hadist di atas juga dijadikan landasan diperbolehkannya jama' taqdim,
yaitu melakukan kedua pasangan sholat di atas dalam waktu pertama.
[3]. Hadist Muadz r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk, manakala
beliau meulai perjalanan setelah Maghrib, beliau memajukan Isya' dan
melaksanakannya di waktu sholat maghrib. (h.r. Ahmad, Abu Dawud danTirmidzi dan
beliau menghasankan hadist ini).
Sebagian ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa yang utama bagi musafir yang
sedang dalam perjalanan adalah melakukan jama'. Sedangkan musafir yang melakukan
transit atau stop over lebih utama melakukan sempurna. Yang jelas dengan
semangat mengikti sunnah Rasulullah s.a.w. maka kita mengikuti yang paling mudah
dan meringankan sejauh itu tidak dosa. Rasulullah s.a.w. tidak pernah disodori
dua pilihan kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak dosa, kalau itu
dosa maka beliau yang paling gigih menjauhinya (h.r. Bukhari dan Muslim).
Pendapat kedua adalah yang diikuti imam Ibu Hanifah atau mazhab Hanafi
mengatakan bahwa sholat jama hanya boleh dilakukan pada hari Arafah untuk para
jamaah haji, yaitu jama' taqdim, dan jama' ta'kir pada malam Muzdalifah. Alasan
pendapat ini bahwa riwayat-riwayat yang menceritakan waktu-waktu sholat adalah
hadist mutawaatir (diriwayatkan banyak orang), sedangkan hadist yang
meriwayatkan jama' selain di waktu haji adalah hadist Ahad (personal), hadist
yang mutawatir tidak bisa ditinggalkan dengan hadist ahad. Pendapat ini juga
melandaskan pada riwayat Ibnu Mas'ud r.a. beliau berkata: "Demi Dzat yang tidak
ada tuhan lain yang menyekutuinya, Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan
sholat kecuali pada waktunya kecuali dua sholat, yaitu beliau melakukan jama'
(taqdim) dhuhur dan ashar di Arafah dan jama' (ta'khir) maghrib dan isya di
Muzdalifah" (h.r. Bukhari Muslim).
CARA JAMA' TAQDIM
Yang dimaksud dengan sholat jama' taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam
waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya' dalam waktunya sholat
maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat isya'. Pelaksanaan
sholat dengan jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan
cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan
ketika takbirotul ihram, berniat menjama' sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam'an bil 'ashri taqdiman lillahi ta'ala.
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama' taqdim dengan ashar karena
Allah"
Niat jama' taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum
salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama' taqdim antara
ashar dengan dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar.
Demikian juga cara sholat jama' taqdim antara sholat maghrib dengan sholat
isya', sama dengan cara jama' taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan
lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya'.
Jika sholat jama' taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat
roka'at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya', diringkas menjadi dua rokaat. Contoh
niat jama' taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini jam'an bil 'ashri taqdiman wa qoshron
lillahi ta'ala
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dua roka'at dengan dijama' taqdim dengan
ashar dan diqashar karena Allah "
SYARAT-SYARAT JAMA' TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama' taqdim, dengan
syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan
mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya'.
5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan
sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua,
selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka'at singkat.
CARA JAMA' TA'KHIR
Yang dimaksud dengan jama' ta'khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam
waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat,
isya'. Sholat shubuh tidak dapat dijama' dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan
sholat jama' ta'khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara,
apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat
dhuhur untuk dijama' dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian
setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti
biasa tanpa harus mengulangi niat jama' ta'khir. Demikian juga cara melakukan
jama' ta'khir sholat magrib dengan sholat isya'. Ketika masuk waktu maghrib
berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama' pada waktu sholat
isya'.
SYARAT-SYARAT JAMA' TA'KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama' ta'khir apabila
memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama' ta'khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.
KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA'
Ketentuan jama' dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut
ini adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama' dari
berbagai mazhab:
1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk
sholat maghrib dan isya' (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan
yang becek, banjir dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini
hanya memperbolehkan jama' taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan ashar
digabung dan maghrib dan isya' digabung, bukan karena takut dan bepergian" (h.r.
Bukhari Muslim).
4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama' simbolis, yaitu melakukan solat awal
di akhir waktunya dan melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali
sakit diperbolehkan menjama' sholat).
5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil
dan tidak memakai pampers (Hanbali).
7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
8. Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).
9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus
haid. (Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada
Rasulullah s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kalau
kamu mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan
melakukan jama' kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu" (h.r. Ahmad, Abu
Dawud dan Tirmidzi.
10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri
sendiri atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang
tidak bisa ditinggal kerjaannya. (Hanbali).
Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah
sholat ashar sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib
secara tepat waktu karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk
waktu isya', sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak
mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel
memperbolehkan pelaksanaan sholat jama'. Menurut mazhab Hanbali asas
diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian jauh, sedangkan asas
diperbolehkannya jama' adalah karena hajah atau kebutuhan. Maka ketentuan jama'
lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.
SHOLAT DI ATAS KENDARAAN
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat
lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku'
dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa
dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk
sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti
ruku' dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang
dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan
ruku' serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal
api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg
secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu
sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang.
Demikian pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
[1]. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:"Rasulullah s.a.w.
melakukan sholat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai
arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku' dan sujud), kecuali
sholat-sholat fardlu. Beliau juga melakukan sholat witir di atas kendaraan.
[2].Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a.
berkata:"Abdullah bin Umar pernah sholat malam di atas kendaraannya dalam
bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar
berkata:"Rasulullah s.a.w. juga melakukan sholat di atas kendaraan dan menghadap
kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan sholat witir, hanya saja itu
tidak pernah dilakukannya untuk sholat fardlu".
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan
memenuhi rukun-rukun sholat? Terdapat dua cara, yaitu:
[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan
sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Sholat seperti ini wajib diulang
(I'adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu
secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa,
hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan
hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan
setelah bacaan fatihah.
ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang
mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk
berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan
berwudlu', seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak
diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu', karena dikhawatirkan dapat
mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para
penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan
debu.
Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka
sholatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.
QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan
sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas
sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar
waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat
dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam
kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau
telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang
tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam
perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan
dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah
sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita
sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus
melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar
diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib
melaksanakan sholat secara sempurna.
Semoga bermanfaat. Artikel ini disarikan dari berbagai sumber kitab kuning.
No comments:
Post a Comment