Pentingnya Saling Ingat Mengingatkan dan Menyampaikan

PENTINGNYA SALING MENGINGATKAN dan MENYAMPAIKAN...

waltakun minkum ummatun yad'uuna ilaa lkhayri waya/muruuna bilma'ruufi wayanhawna 'ani lmunkari waulaa-ika humu lmuflihuun

[3:104] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.

qul haadzihi sabiilii ad'uu ilaallaahi 'alaa bashiiratin anaa wamani ittaba'anii wasubhaanallaahi wamaa anaa mina lmusyrikiin

[12:108] Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Monday, June 7, 2010

Memahami Jiwa Manusia


Manusia, dalam paradigma Barat postmodernisme; bagi Karl Marx disetir oleh
perutnya (ekonomi) dan bagi Sigmund Freud oleh libido seksnya. Ketika berhijrah
di abad ke 7 M, Nabi Muhammad saw. telah menyinggung temuan Marx dan Freud ini.
Orang berhijrah itu disetir oleh tiga orientasi : seks, materi dan idealisme
atau keimanan (lillah wa rasulihi). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga
dorongan perutnya, atau dorongan seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis,
meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu.

Jadi semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Tapi
jiwa mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud
al-qalbi). Anggota jiwa dalam al-Qur'an diantaranya adalah qalb (hati), ruh
(roh), aql (akal) dan iradah (kehendak) dsb. Al-Qur'an menyebut kata nafs
sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta'aqilun (berakal), dan
6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia, yaitu sinergi
semua, buka independensi masing-masing anggotanya.

Nabi menjelaskan peran qalb (hati) dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek
penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb
(hati). Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad
manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi hati itulah
Allah hanya melihat hati manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR.
Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, hati adalah wajah lain dari nafs (jiwa), maka
dari itu hati atau jiwa manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan
tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur'an:

Pertama, nafs al-ammarah bi al-su', atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah
tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur,
kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus
diperangi.

Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal
melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari
kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan
dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.

Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah
tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih
selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam
kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.

Keempat, Nafs al-mutma'innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap
imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor
duakan nikmat materi.

Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah
ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa
inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi
(Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).

Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan,
kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak
lagi bergejolak dominan.

Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini
seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya
pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya.
Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.

Begitulah jiwa manusia. Ada pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa
yang tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat
Rasulullah saw. Sufyan al-Thawri pernah mengatakan bahwa beliau tidak pernah
menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu
memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn Taymiyyah menggambarkan pergulatan
itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan
malaikat (lammat al-malak).

Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Mu'adh al-Razi
memberikan tipsnya. Ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah
sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang
melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti
penunggang kuda dalam medan perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi
adalah jihad. Sabdanya "Pejuang adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam
mentaati Allah" (al-Mujahidu man jahada nafsahu fi ta'at Allah `azza wa jalla).
(HR.Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb).

Kejahatan diri dalam al-Qur'an juga dianggap penyakit

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS 2:10).

Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya. Para ulama pun
lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan ajaran-ajaran Nabi pun dirangkai
diperkaya sehingga membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi struktur
konsep dan akhirnya menjadi disiplin ilmu.

Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al
Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu
kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau
tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati
melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs
(psychoteraphy).

Dalam Ilmu al-Nafs ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula
penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi pada
abad ke 10 (850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan
penyakit jiwa. Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak
dapat sehat tanpa memiliki keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa
tidak mampu berfikir dan memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan.
Sebaliknya, jika nafs atau jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan
kesenangan hidup. Sakit jiwa lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah
sebabnya ia kecewa pada dokter yang hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan
sakit mental. Maka dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan
istilah al-Tibb al-Ruhani (kedokteran ruhani).

Jadi, hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati
saja, boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya
dikuasai oleh akalnya, Hatinya (qalb) untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan
kamil yang memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya
dengan ridho dan diridhoi. Yang senantiasa menyelaraskan antara fikir dan
dzikir, antara akal dan wahy. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar
cahaya (misykat) bagi umat manusia.

No comments:

Post a Comment