Pentingnya Saling Ingat Mengingatkan dan Menyampaikan

PENTINGNYA SALING MENGINGATKAN dan MENYAMPAIKAN...

waltakun minkum ummatun yad'uuna ilaa lkhayri waya/muruuna bilma'ruufi wayanhawna 'ani lmunkari waulaa-ika humu lmuflihuun

[3:104] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.

qul haadzihi sabiilii ad'uu ilaallaahi 'alaa bashiiratin anaa wamani ittaba'anii wasubhaanallaahi wamaa anaa mina lmusyrikiin

[12:108] Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Friday, June 25, 2010

Mengenal Diri, Mengenal Tuhan

Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Konon itu kata-kata Baginda Rasulullah SAW. Tapi seberapa susahnya sebenarnya mengenal diri itu? Sebegitu pentingnya kah hal itu sehingga bisa mengantarkan seseorang pada suatu pengenalan yang sungguh agung, sesuatu yang dicita-citakan oleh siapa saja yang percaya, pengenalan akan Tuhan? Bukankah yang disebut “saya” ini ya saya, ya yang ini? Tidakkah kita semua tahu dan kenal diri kita sendiri?

Mari kita resapi kisah berikut ini.

* * *

Dalam keadaan sakratul maut, seseorang tiba-tiba merasa berada di depan sebuah gerbang. “Tok, tok, tok,” pintu diketuk. “Siapa di situ?” ada suara dari dalam. Lalu kuseru saja, “Saya, Tuan.”

“Siapa kamu?”
Watung, Tuan.

“Apakah itu namamu?”
Benar, Tuan.

“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”
Ehm, saya anak lurah, Tuan (dengan wajah yang mulai plonga-plongo)

“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.”
Saya seorang engineer, Tuan.

“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya: siapa kamu?”

Sambil masih plonga-plongo karena nggak tahu mau menjawab apa, akhirnya ditemukanlah jawaban yang rada agamis sedikit:

Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.

“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.”
Saya ini manusia, Tuan. Saya setiap Jumat pergi jumatan ke masjid dan saya pernah kasih sedekah. Setiap lebaran, saya juga puasa dan bayar zakat.

“Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.”

Akhirnya orang ini pergi melengos keluar, dengan wajah yang masih plonga-plongo. Dia gagal di pintu pertama, terjegal justru oleh sebuah pertanyaan yang sungguh sederhana: siapa dirinya yang sebenarnya.
* * *

Nggak mudah, tho? Coba pikir, kita nggak paham siapa kita, maka kita punya tradisi besar mengasosiasikan sesuatu terhadap diri kita: nama, profesi, titel, jenis kelamin, warna kulit dan rambut, foto wajah (seperti yang di KTP, our identification!). Kita melabeli diri kita dengan sesuatu itu, kita pun nyaman dengan label itu, lalu merasa bahwa label itulah diri kita. Think again: apakah aku = tubuhku?

Ah, Watung, itu cuma permainan kata!

Mungkin saja. Tapi perhatikanlah kalimat orang-orang agung itu: “barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”

Mengetahui orang lain adalah kebijaksanaan
Mengetahui diri sendiri adalah pencerahan.
Menguasai orang lain memerlukan kekuatan
Menguasai diri sendiri membutuhkan kekuatan.

Apakah itu membuat Anda bertanya-tanya, saudara2ku dan teman2 FB...?

Note : Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, di perlukan sarana, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu yang dibarengi dengan keikhlasan dalam ucapan maupun amal. Bukankah ilmu ibarat cahaya dalam kegelapan yang menerangi jiwa?. Dengan demikian apakah cahaya yang kita dapati itu dengan mudah kita buang dan jual dengan harga yang rendah?. Dengan menuntut ilmu akan kita dapati hal-hal yang kita tidak dimiliki sebelumnya dan dengan itu maka dan kedzoliman akan sirna bagaikan buih yang terhempas ombak air. Allah swt berfirman: “Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. [Ar-Ra'd:17].

Wallahu a'lam

k Boris

No comments:

Post a Comment