Dzikir terdiri dari empat bagian yang saling terikat, tidak terpisahkan, yaitu: dikir lisan (ucapan), dzikir qalbu (merasakan kehadiran Allah), dzikir ‘aql (menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam), dan dzikir amal (taqwa: patuh dan taat terhadap perintah Allah dan meninggalakan larangan-Nya). Idealnya dzikir itu berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal, dan dibuktikan dengan ketaqwaan, amal nyata di dunia ini.
Dzikir adalah perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman (QS al-Ahzab: 41-42). Maka orang yang beriman adalah orang yang banyak berdzikir. Kurang iman, kurang dzikir. Tidak beriman tidak akan berdzikir. Berdzikir berarti taat pada perintah Allah. Prakteknya bisa jadi dalam keadaan bediri, duduk, atau berbaring (QS Ali Imran: 191), di Masjid (QS An-nur: 36), Mushalla, rumah, kantor, atau jalanan sekalipun, dan bisa dilakukan sendiri-sendiri (QS al-A’raf: 205) atau berjamaah (dalam majelis).
Raulullah SAW bahkan menyebut majelis dzikir sebagai taman surga. Bliau bersabda, “Apabila kalian melewati taman surga, maka bersimpuhlah.” Para sahabat bertanya, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Yaitu majelis dzikir.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi).
Dzikir adalah pangkal ketenangan dan kedamaian (QS ar-Ra’d: 28). Allah adalah sumber ketenangan dan kedamaian (as-Salam). Maka untuk mencapai ketenangan dan kedamaian itu jalannya adalah mendatangi sumbernya dan membersamakan diri dengan-Nya. Dzikit itulah jalan pembersamaan (ma’iyyatullah). Adapun meninggalkan dzikir sama dengan membuka keleluasaan bagi setan untuk menungganginya (QS Az-Zuhruf: 36), menciptakan kepengapan hidup serta membutakan mata hati (QS Thaha: 124). Selain sebagai wujud ketaatan, dzikir merupakan identitas utama seorang mukmin (QS al-Anfal: 2).
Sejatinya, dzikir membentuk pribadi yang bertaqwa. Yaitu amat taat terhadap perintah Allah dan berjuang maksimal menjauhi larangan Allah. Orang yang berdzikir sadar betul bahwa ia senantiasa berada di bawah tatapan dan perintah-Nya.
No comments:
Post a Comment