Dunia tidak abadi, ia berujung dan berakhir, sama halnya dengan penghuninya, manusia. Kontrak hidupnya juga terbatas. Selama-lamanya orang hidup, ia pasti berakhir dengan kematian-nya. Ya, kematian adalah akhir dari yang hidup, termasuk manusia. Tidak ada tempat berlari dan bersembunyi dari kematian. Orang bisa saja berlari dari sesuatu dengan meninggalkannya di balik punggungnya kecuali kematian, dia berlari darinya tetapi justru ia menghadang di depannya, bersembunyi di balik benteng yang kokoh. Mendaki langit dengan alat canggih tidak bisa menghindarkan seseorang dari kematian. Firman Allah Subhanahu Wata’ala :
"Katakanlah, 'Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripada-nya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemuimu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Al-Jumu'ah: 8).
Ajal kematian setiap manusia telah ditulis oleh Allah pada saat dia masih berupa janin di dalam rahim ibunya dalam umur seratus dua puluh hari, kematian itu ditulis bersamaan dengan rizki, amal, kebahagiaan, dan kesengsaraannya. Apabila ajal ter-sebut tiba, maka ia tiba tepat waktu, tidak mungkin ditunda atau disegerakan sesaat pun. Apabila ajal tiba, maka ia tiba di bumi mana pun orang tersebut berada, tanpa dia ketahui..
"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati." (Luqman: 34).
Bahkan mungkin yang bersangkutan tidak di bumi tetapi di udara atau di laut. Apabila ajal tiba, maka ia tiba apa pun penye-babnya; sakit, kecelakaan lalu lintas, dibunuh orang, tenggelam, bencana alam, dan lain-lain. Semua itu hanya penyebab kematian, bahkan ada orang yang mati tanpa didahului oleh sebab; kata orang, mati mendadak. Dia tidur, ternyata itu menjadi tidur panjangnya. Dia duduk di meja kantor, ternyata dia tidak lagi berdiri tetapi di-angkat ke ranjang pemandian. Semua itu penyebabnya hanya satu, kematian.
Seandainya kematian adalah akhir segalanya, maka perkara-nya sangatlah mudah, ringan, dan remeh, akan tetapi tidak demi-kian, justru ia merupakan awal bagi babak kehidupan baru yang hanya memiliki dua kemungkinan yang tidak mungkin dirubah; kesengsaraan dan tangisan abadi atau kebahagiaan dan senyuman abadi, di mana kedua pilihan ini tergantung kepada apa yang kita tanam di alam dunia. Oleh karena itu, ketika seseorang didatangi ajalnya, dia merasa tidak mungkin selamat darinya, dia mengeta-hui seberapa jauh usaha menanam yang dilakukannya semasa hidup. Maka dalam kondisi tersebut dia pasti berharap diberi peluang dan kesempatan kedua guna menambal kelengahan dan memper-baiki yang rusak, akan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Waktu yang berlalu tidak mungkin diputar ulang dan penyesalan selalu datang di belakang.
"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, 'Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menang-guhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?' Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) sese-orang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Munafiqun: 10-11).
"Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi, dia berkata, 'Ya Rasu-lullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?' Rasulullah menjawab, 'Kamu bersedekah dalam keadaan sehat, mencintai harta, takut miskin, dan berharap kaya, jangan menunda-nunda sehingga ketika nyawa sampai di kerongkongan kamu berkata, 'Untuk fulan ini, untuk fulan ini,' padahal ia telah menjadi miliknya'." (Muttafaq alaihi. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 680 dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 538).
semoga bisa dijadikan pelajaran untuk bisa senantiasa mempertebal keimanan guna menghadap kelak dengan sang khalik dalam keadaan khusnul khotimah...
W'slm...warahmatullahi wabarakatuh..
No comments:
Post a Comment