Pentingnya Saling Ingat Mengingatkan dan Menyampaikan

PENTINGNYA SALING MENGINGATKAN dan MENYAMPAIKAN...

waltakun minkum ummatun yad'uuna ilaa lkhayri waya/muruuna bilma'ruufi wayanhawna 'ani lmunkari waulaa-ika humu lmuflihuun

[3:104] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.

qul haadzihi sabiilii ad'uu ilaallaahi 'alaa bashiiratin anaa wamani ittaba'anii wasubhaanallaahi wamaa anaa mina lmusyrikiin

[12:108] Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Wednesday, September 1, 2010

Hukum I'tikaf 2

[1]. Hikmahnya.

Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata : “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpul (unsur pendukung) hati tersebut kpd Allah, dan menyalurkan dgn menghadapkan hati tersebut kpd Allah Ta’ala secara menyeluruh, krn kusut hati tdk akan dpt sembuh kecuali dgn menghadapkan(nya) kpd Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yg berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yg menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayg menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yg bisa menyebabkan hilang kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yg (mana syahwat tersebut) dpt merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkan (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yg akan diperoleh) hingga seorang hamba dpt mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskan (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyariatkan i’tikaf bagi mereka yg mana maksud serta ruh ialah berdiam hati kpd Allah Ta’ala dan kumpul hati kpd Allah, berkhalwat dgn-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dgn makhluk, ha menyibukkan diri kpd Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kpd-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kpd-Nya, dan jadilah keinginan semua kpd dan semua betikan-betikan hati dgn mengingat-Nya, bertafakur dalam mendptkan keridhaan dan sesuatu yg mendekatkan diri kpd Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dgn Allah sebagai ganti kelembutan terhadap makhluk, yg menyebabkan dia beruntuk demikian ialah krn kelembutan tersebut kpd Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tdk ada lagi yg beruntuk lembut kpdnya, dan (manakala) tdk ada lagi yg dpt membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yg agung itu” [Zaadul Ma’ad 2/86-87]

[2]. Makna I’tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dpt dikatakan bagi orang-orang yg tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalam sebagai mu’takif dan ‘Akif. [Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur]

[3]. Disyari’atkan I’tikaf

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yg lai sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal[1] Dan Umar pernah berta kpd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Arti : Wahai Rasulullah, sesungguh aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu”.

Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beritikaf pada malam harinya. [Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656]

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun yg dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. [Riwayat Bukhari 4/245]

Dan yg lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan krn Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah]

[4]. Syarat-Syarat I’tikaf

[a] Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala.
“Arti : Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu[2] sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid” [Al-Baqarah : 187]

[b] Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yg mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). [3]

Dan sunnah bagi orang-orang yg beritikaf (yaitu) hendak berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu ‘anha yg telah disebutkan. [4]

[5]. Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan

[a] Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepala dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

“Dan sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala kpdku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambut (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan ialah Rasulullah tdk masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf” [5]

[b] Orang yg sedang Itikaf dan yg yg lain diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Arti : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dgn wudhu yg ringan” [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dgn sanad yg shahih]

[c] Dan diperbolehkan bagi orang yg sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, krn Aisyah Radhiyallahu ‘anha (pernah) memuntuk kemah (yg teruntuk dari bulu atau wool yg tersusun dgn dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf[6] dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173]

[d] Dan diperbolehkan bagi orang yg sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjang di dalam tenda tersebut, sebagaimana yg diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuk ranjang di belakang tiang At-Taubah.[7]

[6]. I’tikaf Wanita Dan Kunjungan Ke Masjid

[a] Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suami yg berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

“Arti : Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisi ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata : jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampai di samping pintu masjid yg terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika kedua melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : “Tenanglah[8], ini ialah Shafiyah binti Huyaiy”, kemudian kedua berkata : ‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda : “Sesungguh syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darah dan sesungguh aku khawatir akan bersarang kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu”[9]

[b] Seorang wanita boleh i’tikaf dgn didampingi suami ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”.[Telah lewat takhrijnya]

Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, -pent) :”Pada atsar tersebut ada suatu dalil yg menunjukkan atas boleh wanita i’tikaf dan tdk diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dgn catatan) ada izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yg banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah.

“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1]. Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
[2]. Yakni “Janganlah kami mejimai mereka” pendpt tersebut mrpk pendpt jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
[3]. Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dpt dilihat takhrij serta pembicaraan hal ini pada kitab yg berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dgn makna dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
[5]. Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami’ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir
[6]. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
[7]. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaid dan Al-Baihaqi, sebagaimana yg dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanad Hasan
[8]. Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yg kami benci.
[9]. Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yg terkahir ada pada Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud

No comments:

Post a Comment