Pada suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. sedang mengejar kaumnya timbul sebuah pertanyaan, “siapakah yang palimg alim diantara kalian?’ Nabi Musa a.s. menjawab, “saya”. Atas jawaban tersebut, Allah Swt. menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa masih ada seorang hamba Allah Swt yang lebih alim.
Singkat cerita, Nabi Musa a.s. ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa a.s. , dengan syarat: Nabi Musa a.s. tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.
Hamba Allah itu, yang tidak lain adalah Nabi Khidhir a.s., berkata “Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar”.
Spontan Nabi Musa a.s. mengucapkan “insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar.”
Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s. mengucapkan ‘insya Allah’. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. kurang tawadhu. Mengapa? Sebab, ia mengatakan , “...saya sebagai orang yang sabar.” Beliau tidak mengatakan, “...saya sebagi bagian dari orang-orang yang sabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.
Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak bisa sabar dalam berguru kepada Nabi Khidhir a.s. ..Mengapa ? Sebab, setiap Nabi Khidhir a.s berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya. (kisah lengkapnya bisa dilihat di Q.S Al Kahfi: 60-82)
Rasullulah saw. bersabda, “Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah Swt. menjadikan kita semua sebagai hamba-hambanya selalu mengembalikan sesuatu kepada masyi’ah Allah Swt., menjadi manusia-manusia yang tawadhu dan sabar. Amien!
No comments:
Post a Comment